Dikaji Adat nan ampek, itu pusako tanah Minang. Nak tuah cari sapakaik, nak cilako bueklah silang.!

Thursday, April 10, 2014

Budaya Merantau

Ke rantau madang di hulu

Babuah babungo balun

Merantau bujang dahulu

Di rumah baguno balun

Dalam tradisi Minangkabau, merantau merupakan kewajiban bagi bujang (pemuda). Seorang laki-laki dewasa dianggap belum berguna jika ia belum merantau dan belajar hidup di tanah orang. Tradisi merantau orang Minang bahkan bisa ditelusuri dari filosofi rumah gadang.

Rumah gadang atau rumah godang adalah rumah tradisional suku Minangkabau. Masyarakat setempat sering menyebutnya dengan rumah bagonjong atau rumah baanjung.

Sesuai paham matrilineal yang menganut garis keturunan ibu, rumah gadang adalah rumah adat bagi perempuan. Laki-laki tidak mendapatkan tempat di rumah tersebut. ”Setelah menginjak usia akil balik, mereka tidak diperbolehkan lagi tinggal di rumah gadang. Mereka tidur di surau atau masjid dan hanya pulang saat akan makan atau ganti baju,” keturunan pemilik rumah gadang kuno di Dusun Nagari, Desa Sumpu, Kecamatan Batipuh Selatan, Tanah Datar.

Menurut Alfa, anak laki-laki tidur di surau atau masjid untuk belajar mengaji sekaligus belajar hidup mandiri. Hingga usianya dewasa dan siap merantau,

Kampung Minang Nagari Sumpu yang usianya lebih dari 300 tahun. . Jarak perkampungan rumah gadang kuno yang terletak di dekat Danau Maninjau sekitar 20 kilometer dari kota Batusangkar. Perjalanan harus lewat perbukitan yang berkelok-kelok. Dari atas bukit, hamparan biru Danau Maninjau begitu indah.
perkampungan Nagari Sumpu. . terlihat atap rumah gadang yang menyembul seperti tanduk kerbau. Senja yang menyemburatkan warna jingga membuat atap rumah berkilauan.  Selain berdinding anyaman bambu, juga beratap seng. Kabar terakhir, lima rumah gadang di Dusun Nagari terbakar karena hubungan arus pendek listrik.
Dibangun tahun 1970-an

Rumah-rumah itu masih dihuni keturunan pemilik rumah gadang lama. , rumah paling tua dibangun tahun 1700-an. Rumah , yang cukup ”mewah” dibangun awal tahun 1900-an. Mereka tak mampu merenovasi karena biayanya mahal. Untuk perbaikan satu rumah gadang butuh Rp 1 miliar.
Bagian dalam terdiri atas rumah besar dengan enam tiang berderet dari kiri ke kanan. Punya dua anjuang atau anjungan. Masing-masing anjungan merupakan kamar dengan posisi lantai lebih tinggi dari lantai rumah lainnya.

Kamar tinggi dipakai anak perempuan yang baru menikah bersama suaminya. Kamar berukuran sekitar 1,5 meter x 2 meter berisi dipan kayu dengan jendela besar. Jika ada anak perempuan lain menikah, mereka yang menghuni anjuang harus pindah.

Rumah gadang berfungsi sebagai tempat tinggal bersama. Setiap perempuan yang bersuami mendapat satu kamar. Jumlah kamar disesuaikan dengan jumlah anak perempuan. Anak perempuan yang belum kawin tinggal di satu kamar, sedangkan anak-anak dan perempuan tua ada di dekat dapur.

Rumah itu ditopang tiang fondasi yang diletakkan di atas batu ceruk dan disemen agar menyatu. Konstruksi tahan gempa memungkinkan tiang rumah bisa bergeser dan bergoyang-goyang, dan patah. Struktur rumah gadang juga dibuat tanpa sambungan siku. Sudut-sudut konstruksi tak ada yang membentuk sudut 90 derajat. Sebab, menyesuaikan lekuk batang kayu yang digunakan.

Dalam Proses Membangun Rumah Gadang , pembangunan rumah gadang melalui serangkaian proses. Mulai dari musyawarah, penunjukan tukang tuo (arsitek tradisional), hingga berbagai ritual terkait pemasangan bagian rumah. Saat membangun, tukang tuo membuat ukuran tanpa bantuan meteran. Ia mengukur dengan anatomi tubuh seperti ruas jari, jangka kelima jari tangan yang dilebarkan atau dikatupkan, dan jarak dua lengan yang dipentangkan.

Pembangunan rumah diawali pemasangan tiang utama rumah yang menggunakan kayu andaleh (Morus macraura). Diameter kayu mencapai 2-6 meter. Kayu ini langka dan hanya sedikit ada di Desa Andaleh, Kecamatan Kali Koto, di Desa Paninjauan. , untuk bangun satu rumah gadang butuh pekerja ratusan orang. Di Nagari Sumpu sekitar tahun 1980-an masih ada 200-an rumah gadang yang jumlahnya mulai surut hingga tinggal 25 rumah.

         Ada sebuah anekdot, bahwa ketika Neil Amstrong mendarat di Bulan bersama Apallo 11 38 tahun silam, ia sangat terkejut mendapati orang Minang sudah lebih duluan sampai di sana untuk membuka rumah makan Padang.
           Orang Minang memang ada di mana-mana di berbagai pelosok Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Mereka terkenal karena memiliki budaya merantau. Suatu budaya yang hanya dimiliki oleh suku bangsa tertentu saja di Indonesia. Selain suku bangsa Minangkabau, etnis yang juga mempunyai budaya merantau adalah Bugis, Banjar, Batak, sebagian orang Pantai Utara Jawa dan Madura.
             Budaya merantau orang Minangkabau sudah tumbuh dan berkembang sejak berabad-abad silam. Para pengelana awal bangsa Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara mencatat bahwa orang Minangkabau sudah merantau ke Semenanjung Melayu jauh sebelum orang-orang kulit putih datang ke sana. Bahkan, sebuah laporan pertengahan Abad ke-19 yang tersimpan dalam arsip di Perpustakaan Leiden, Negeri Belanda, menyebutkan tentang “The Minangkabau State in Malay Peninsula” (Negara Minangkabau di Semenanjung Malaya). Negeri itulah yang kemudian kita kenal sebagai Negeri Sembilan, salah satu Kerajaan yang mendirikan Negara Federasi Malaysia. Jadi, mereka sudah mendirikan sebuah negara di Semenanjung Malaya sebelum berdiri di barisan terdepan dalam mendirikan Negara Republik Indonesia.
         Tradisi merantau orang Minang terbangun dari budaya yang dinamis, egaliter, mandiri dan berjiwa merdeka. Ditambah kemampuan bersilat lidah (berkomunikasi) sebagai salah satu ciri khas mereka yang membuatnya mudah beradaptasi dengan suku bangsa mana saja. Banyak hasil studi para sarjana asing maupun ilmuwan nasional menunjukkan bahwa budaya merantau orang Minang sudah muncul dan berkembang sejak berabad-abad silam. 
           Dalam konsep budaya Alam Minangkabau dikenal wilayah inti (darek) dan rantau (daerah luar). Rantau secara tradisional adalah wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah taklukan. Namun perkembangannya belakangan, konsep rantau dilihat sebagai sesuatu yang menjanjikan harapan untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik dikaitkan dengan konteks sosial ekonomi dan bukan dalam konteks politik. Berdasarkan konsep tersebut, merantau adalah untuk pengembangan diri dan mencapai kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Dengan demikian, tujuan merantau sering dikaitkan dengan tiga hal: mencari harta (berdagang/menjadi saudagar), mencari ilmu (belajar), atau mencari pangkat (pekerjaan/jabatan) (Navis, 1999)
        Sebagai sebuah pola migrasi (perpindahan penduduk) secara sukarela, atas kemauan sendiri, maka merantau orang Minang berbeda dengan, katakanlah, merantau orang Jawa yang melalui proses transmigrasi –diprogramkan dan dibiayai pemerintah. Orang Minang merantau dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Mereka melihat proses ini semacam penjelajahan, proses hijrah, untuk membangun kehidupan yang lebih baik (lihat Mochtar Naim, 1984).
          Dalam alam pikiran orang Minangkabau –analog dengan dunia agraris– kampung halaman atau tanah kelahiran ibaratnya persemaian yang berfungsi untuk menumbuhkan bibit. Setelah bibit tumbuh, mereka harus keluar dari persemaian ke lahan yang lebih luas agar menjadi pohon yang besar kemudian berbuah. Proses seperti inilah yang dialami dan kemudian terlihat pada tokoh-tokoh asal Minang yang berkiprah di “dunia” yang jauh lebih luas seperti Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Hamka, Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, atau generasi yang lebih belakangan –lahir, tumbuh, mengalami masa kecil dan remaja di kampung, lalu pergi merantau dan “menjadi orang”.
Selalu Membaur, tak Pernah Konflik
           Ke mana pun mereka merantau, di mana pun mereka berada, orang Minang memiliki daya adaptasi yang tinggi dengan lingkungannya. Ini sesuai dengan ungkapan yang merupakan pedoman hidup mereka: di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung. Atau, di kandang kambing mengembek, di kandang kerbau mengo’ek.
Sepanjang sejarahnya, orang Minang di perantauan tidak pernah terlibat konflik dengan masyarakat di manapun mereka berada. Ini karena budaya dan perilaku hidup mereka yang yang terbuka, tidak eksklusif, dan hidup membaur dengan masyarakat setempat. Di mana pun rantaunya, orang Minang tidak pernah membuat “kampung”. Tidak ditemukan ada Kampung Minang di kota-kota di mana perantau Minang jumlahnya cukup banyak. Sebaliknya, di kampung halamannya sendiri mereka memberikan “kampung” kepada para pendatang, termasuk kepada orang Cina. Di Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh ada Kampung Cino (Cina), di Padang dan Solok ada Kampung Jao (Jawa), atau Kampung Keling di Padang dan Pariaman.
          Karena daya adaptasi, kemampuan menyesuaikan diri, yang tinggi itu, mereka pun diterima oleh masyarakat di mana mereka berada. Mereka diterima menjadi pemimpin formal maupun informal di rantaunya masing-masing. Sebutlah, misalnya, Mr. Datuk Djamin yang menjadi Gubernur Jawa Barat yang kedua (1946); Gubernur Maluku yang kedua dan ketiga, yakni Muhammad Djosan (1955-1960), dan Muhammad Padang (1960-1965); Gubernur Sulawesi Tengah yang pertama, Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (1964-1968); Residen/Gubernur Sumatera Selatan yang pertama dr. Adnan Kapau Gani; atau Djamin Dt. Bagindo yang menjadi gubernur pertama Provinsi Jambi (1956-1957).
          Budaya merantaulah yang menyebabkan orang Minang tersebar dan mempunyai peranan di mana-mana, di berbagai kota dan pelosok di Indonesia dan di mancanegara. Kota manapun di Indonesia yang pernah saya kunjungi, semasa menjadi Bupati Solok dan setelah menjadi Gubernur Sumatera Barat, saya selalu bertemu dengan orang Minang. Tak kecuali mereka juga ada dalam jumlah cukup banyak di daerah remote seperti Irian Jaya (kini Papua), Nusatenggara, dan Timor Timur. Bahkan, dari berbagai cerita kita tahu, jauh sebelum Timor Timur berintegrasi dengan Republik Indonesia, yakni ketika Timor Timor masih merupakan bagian negara Portugal, orang Minang sudah membuka dan mengusahakan rumah makan di sana.
         Meskipun belum ada angka statistik yang pasti, ditaksir jumlah orang (keturunan) Minang di perantauan lebih banyak ketimbang yang tinggal di Sumatera Barat, atau kira-kira 8 – 10 juta jiwa. Konon, di wilayah Jabotabek saja, dari setiap 10 orang yang kita temui, seorang di antaranya adalah orang Minang. Saya pernah diberi tahu tentang hasil survei sebuah lembaga pendidikan agama Islam di Jakarta yang menyebutkan bahwa sekitar 50 persen masjid di Jabotabek pengurusnya adalah orang Minang.
              Diperkirakan 40 persen penduduk Provinsi Riau adalah perantau atau keturunan Minang atau orang yang berasal dari Sumatera Barat. Sebanyak 60 persen dari total penduduk Negeri Sembilan (Malaysia) mengaku berasal dari Minangkabau dan hingga kini tanpa ragu tetap menyatakan diri menganut “Adat Perpatih” atau adat Minangkabau (lihat Samad Idris, Payung Terkembang).
           Hampir di semua provinsi di Sumatera dapat ditemukan orang Minang dalam jumlah yang banyak. Mereka juga hidup dan membaur dengan masyarakat di kota-kota bahkan pelosok di semua pulau besar di Indonesia –Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, Nusatenggara dan sebagainya. Dalam jumlah yang cukup banyak pula merantau sangat jauh hingga ke luar negeri, menyebar ke lima benua. Bahkan, kalaupun di Bulan ada kehidupan manusia, orang Minang mungkin saja sudah ada pula di sana.
            Selaras dengan tujuan merantau –mencari harta, ilmu atau pangkat– dalam rangka mengembangkan diri dan mencari kehidupan yang lebih baik, maka orang Minang di perantauan berbagai profesi dan lapangan kehidupan. Kebanyakan memang menjadi pedagang, saudagar atau pengusaha. Namun banyak pula yang menjadi ilmuwan, mubaligh serta orang berpangkat sebagai pejabat pemerintah atau kaum professional (dokter, dosen, eksekutif BUMN atau perusahaan swasta, wartawan, sastrawan, dan lain-lain).
           Meskipun orang Minang selalu membaur dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya di rantau, namun ada sesuatu hal yang unik dan selalu menjadi ciri khas mereka. Yakni kepedulian dan kecintaan kepada kampung halaman. Hal ini mungkin sesuatu yang umum saja, seperti ucapan ilmuwan besar dunia Albert Einstein yang dikutip oleh Mr. Sutan Muhammad Rasjid dalam bukunya Rasjid – 70:
“On two things in life you cannot be objective: first, the love to your mother; secondly, the love to your country where you have been born” (Dalam dua hal Anda tak bisa objektif: pertama, cinta kepada ibumu; kedua, cinta kepada tanah kelahiranmu).
        Dalam kedua hal itu, barangkali orang Minang jauh melebihi apa yang dipikirkan Einstein. Sebagai masyarakat penganut matrilial (keturunan menurut garis ibu), jelas mereka mempunyai rasa cinta yang sangat besar kepada ibu yang melahirkannya. Demikian pula dalam hal mencintai tanah kelahiran atau kampung halamannya, orang Minang pun sangat menonjol, tak obah mencintai ibunya sendiri. Bahkan, orang (keturunan) Minang yang lahir di rantau pun tetap mencintai dan peduli dengan negeri ini sebagaimana kita lihat pada diri mayoritas penduduk Negeri Sembilan di Malaysia yang tanpa ragu menyatakan bahwa mereka adalah penganut “Adat Perpatih” (adat Minang).
         Kecintaan kepada kampung halaman mereka ditunjukkan, setidaknya, dalam dua hal. Pertama, kepedulian yang tinggi kepada negeri asal dan adat-budayanya. Kedua, di mana tempat mereka berada, mereka membangun ikatan-ikatan kekeluargaan dalam bentuk kesatuan se-nagari asal, se-kabupaten, atau yang lebih luas dalam ikatan kekeluargaan Minang atau Sumatera Barat.
Di rantau mereka tetap mempertahankan jati diri sebagai orang Minang yang menganut “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Mereka tetap setia memelihara budaya, adat istiadat, tradisi, dan kesenian daerah asal mereka. Bahkan sudah tradisi, hampir setiap tahun bersamaan dengan momentum Hari Raya Idul Fitri, mereka mengadakan halalbihalal dan mengundang gubernur, bupati atau walikota dari Sumatera Barat untuk hadir dalam kegiatan tersebut. Ketika menghadiri kegiatan-kegiatan orang Minang di rantau itu, biasanya penyambutannya sangat meriah –ada tari pasambahan, siriah di carano, pertunjukan tari dan lagu-lagu Minang. Dan biasanya sangat ramai. Ini sejalan dengan ungkapan, sejmauh-jauh merantau, adat Minang tetap digungguang dibaok tabang.
         Meskipun tinggal jauh di rantau, mereka sangat peduli dengan perkembangan dan selalu mengikuti setiap informasi dari kampung. Mereka juga selalu pula ‘gatal’ untuk menyampaikan aspirasi bahkan unek-unek bagi kemajuan daerahnya. Karena itulah, kalau Gubernur Sumatera Barat datang ke daerah di mana banyak perantau Minang, mereka akan selalu minta mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan seperti itu, yang dihadiri gubernur, terlihat sekali betapa setiap perantau sangat peduli kepada nagari asalnya, tak peduli apa kedudukan dan kelas sosialnya. Pejabat tinggi, pengusaha besar, ataupun orang tenama yang sudah berkelas internasional sekalipun, kalau bicara tentang nagari-nya selalu bersemangat bahkan berapi-api bicaranya.
Setinggi-tinggi terbang bangau, kembalinya ke kubangan jua. Sejauh-jauh merantau, kampung halaman terbayang jua. Sehabat-hebatnya orang Minang di rantau, setinggi apapun jabatan dan kedudukannya, mereka tetap saja memerlukan pengakuan dan eksistensi di kampung halaman atau negeri asalnya.
           Mereka yang umumnya punya status sosial tinggi, kaya dan berpangkat, sering tak bisa menahan diri untuk terlibat bahkan terkesan ‘intervensi’ sampai ke soal-soal politik dan pemerintahan di kampungnya. Misalnya, mereka merasa perlu ikut menentukan siapa yang akan menjadi Gubernur Sumatera Barat, atau yang akan menjadi bupati, walikota, bahkan wali nagari di daerah asalnya. Memang unik. Mereka tidak ber-KTP Sumatera Barat, tetapi merasa bertanggung jawab untuk ikut mengambil keputusan soal politik dan pemerintahan hingga ke tingkat nagari dan jorong.
Bukan hanya itu. Mereka bahkan terjun langsung dari rantau untuk memimpin nagarinya. Semasa menjadi Bupati Solok, saya dua kali menerima delegasi perantau nagari yang datang memperkenalkan calon wali nagari yang mereka datangkan dari rantau untuk memimpin nagarinya. Kedua pemimpin “impor” itu ternyata memang terpilih sebagai wali nagari.
            Di beberapa kabupaten, sejak Sumatera Barat kembali ke Nagari, banyak pula tokoh-tokoh rantau yang kemudian pulang kampung untuk bertarung dalam pemilihan Wali Nagari. Ada notaries terkenal, bekas pejabat BUMN, mantan pejabat pemerintahan, bahkan ada mantan walikota yang kemudian ikut pemilihan wali nagari dan terpilih. Dengan demikian ia tetap Pak Wali, dulu walikota sekarang wali nagari.
Forum SSM dan Peranan Orang Minang
Forum Silaturahim Saudagar Minang (SSM) yang sudah dua kali diadakan, adalah bentuk lain dari kepedulian perantau Minang kepada kampung halamannya. Forum seperti ini adalah penerusan tradisi yang sudah terbangun selama berabad-abad. Atas nama masyarakat dan pemerintah Sumatera Barat, saya menyambut dengan gembira adanya forum seperti ini, yang diharapkan akan memberikan sumbangan pula bagi kemajuan daerah dan masyarakat Sumatera Barat.
          Meskipun yang bersilaturahmi adalah para saudagar Minang dari perantauan, namun kita tak pernah meragukan, kegiatan ini adalah perwujudan dari rasa cinta mereka kepada kampung halaman dan masyarakatnya. Karena itu, saya mengharapkan agar Silaturahmi Saudagar Minang yang kedua tanggal 10 – 12 Oktober 2008 ini dapat dioptimalkan dengan program dan kegiatan yang bermanfaat bagi kampung halaman dan nagari.
Sejarah bangsa Indonesia menorehkan tinta emas tentang peranan putra-putra Minangkabau dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini. Demikian pula pada awal masa pertumbuhan dan pembangunan setelah kemerdekaan, peranan mereka sangat menonjol di bidang politik, pemerintahan, dan juga di bidang sosial dan ekonomi.
           Apa yang membuat orang Minang maju dan dan mempunyai peranan yang menonjol? Salah satunya adalah pendidikan. Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth E. Graves untuk disertasinya di Universitas Wisconsin, Amerika, yang telah diterbitkan sebagai buku dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Asal-usul Elite Minangkabau Modern (Yayasan Obor, 2007) menyebutkan, bahwa salah satu kunci kemajuan orang Minang Abad ke-19 adalah karena mereka berhasil merespon dan memanfaatkan dengan tepat pendidikan Barat yang dikenalkan oleh Belanda di Minangkabau.
Jauh sebelum suku bangsa lain di Indonesia mengenal pendidikan, orang Minangkabau sudah mengembangkan pendidikan agama Islam, madrasah-madrasah melalui surau-surau yang ada. Setelah Belanda memperkenalkan pendidikan Barat sejak awal abad ke-19, orang Minangkabau pun meresponnya dengan tepat sehingga memberikan keuntungan untuk kemajuan suku bangsa ini. Mereka tidak hanya memasukkan anak-anaknya ke sekolah yang didirikan Belanda, tetapi juga membangun banyak sekali sekolah yang mengadopsi sekolah model Barat itu.
          Pendidikan menghasilkan generasi orang Minang terpelajar dan mempunyai kemampuan. Sehingga, ketika Indonesia merdeka dan memerlukan tenaga terdidik yang profesional dan berkemampuan teknis untuk mengelola negeri yang baru merdeka ini, peranan orang Minang menjadi sangat menonjol (E. Graves, 2007). Itu bukan hanya di bidang pemerintahan, tapi juga di bidang sosial dan ekonomi.
Semangat egaliter dan budaya yang dinamis melahirkan daya saing yang tinggi dan wawasan yang luas. Dipadu dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang memadai, mereka tak pernah ragu untuk hidup di manapun di muka bumi ini. Keberanian orang Minang adalah keberanian untuk hidup (ini untuk membedakan dengan suku bangsa lain yang terkenal “berani mati”, orang Minang “berani hidup”)
         Banyak saudagar Minang masa lalu, tumbuh karena budaya egaliter, semangat mandiri dan jiwa merdeka yang mereka miliki. Mereka memulai dari usaha kecil, katakanlah kaki lima, kemudian tumbuh berkat kemampuan entrepreneurship-nya yang tinggi menjadi saudagar kelas menengah dan bahkan besar.
Semangat dan jiwa merdeka ini pulalah yang menyebabkan orang Minang sukar diperintah, sehingga mereka sering dianggap kurang cocok untuk jenis pekerjaan tertentu. Misalnya di militer atau birokrasi yang sangat hirarkis sentries. Merekanya cocoknya jadi saudagar, pengusaha, diplomat, politisi, wartawan, sastrawan dan pekerjaan-pekerjaan tak terperintah lainnya. Termasuk di sini menjadi pedagang kaki lima sebagai bentuk pekerjaan orang merdeka.
Hanya saja, ada yang sedikit merisaukankan kita belakangan ini. Dari survei yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Barat tahun 2007, ternyata dari anak-anak muda kita tamatan perguruan tinggi yang ada di Sumatera Barat, sebanyak 71 persen menginginkan pekerjaan sebagai pegawai negeri.
         Bukan lagi Apakah ini berarti telah terjadi pergeseran budaya, sikap egaliter, semangat mandiri dan jiwa merdeka anak Minang? Kalau memang demikian, perlu usaha bersama untuk memelihara dan merevitalisasi budaya serta spirit merantau orang Minang yang mempunyai banyak nilai baik dan positif itu.**
( Sumber : Artikel Gamawan Fauzi )